Tampilkan postingan dengan label Artikel Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 November 2016

Unknown

Macam-Macam Air Mutlaq

Macam-Macam Air Mutlaq
Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah.

Macam-Macam Air Mutlaq

Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar’i untuk menghilangkan hadats.

Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Tanah memang juga bisa berfungsi untuk menghilangkan najis, tetapi yang media yang utama untuk membersihkan najis tetap air. Najis berat seperti daging babi disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali tanah hanya salah satunya saja. Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air tayammum masih belum dikerjakan.

Maka ketika kita berbicara tentang thaharah, bab tentang air menjadi bab yang tidak bisa disepelekan.

Namun demikian tidak semua air bisa digunakan untuk bersuci. Ada beberapa keadan air yang tidak memungkinkan untuk digunakan untuk bersuci.

Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, sesuai dengan hukumnya yang digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang kita dapat di dalam kitab fiqh, para ulama itu membaginya menjadi 4 macam, yaitu air mutlaq, air musta’mal air yang tercampur benda yang suci, dan air yang tercampur dengan benda najis.

Berikut ini adalah penjabarannya secara ringkas:

Air Mutlaq

Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.

Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan untuk bersuci. Maksudnya untuk berwudhu’ dan mandi janabah. Dalam fiqih dikenal dengan istilah طاھر لنفسھ مطھر لغیره thahirun li nafsihi muthahhirun li ghairihi.

Air yang suci itu banyak sekali, namun tidak semua air yang suci itu bisa digunakan untuk mensucikan. Air suci adalah air yang boleh digunakan atau dikonsumsi, misalnya air the, air kelapa atau air-air lainnya.

Namun air yang suci belum tentu boleh digunakan untuk mensucikan, seperti untuk berwudhu’ atau mandi. Maka kita tahu ada air yang suci tapi tidak mensucikan, namun setiap air yang mensucikan pastilah air yang suci hukumnya.

Diantara air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan ini antara lain adalah: air hujan, salju, embun, air laut, air zamzam, air sumur atau mata air dan air sungai.

1. Air Hujan

Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu mandi janabah atau membersihkan najis pada suatu benda.

Meski pun di zaman sekarang ini air hujan sudah banyak tercemar dan mengandung asam yang tinggi, namun hukumnya tidak berubah. Air hujan yang terkena polusi dan pencemaran ulah tangan manusia bukan termasuk najis.

Ketika air dari bumi menguap naik ke langit, maka sebenarnya uap atau titik-titik air itu bersih dan suci. Meskipun sumbernya dari air yang tercemar kotor atau najis.

Sebab ketika disinari matahari, yang naik ke atas adalah uapnya yang merupakan proses pemisahan antara air dengan zat-zat lain yang mencemarinya. Lalu air itu turun kembali ke bumi sebagai tetes air yang sudah mengalami proses penyulingan alami. Jadi air itu sudah menjadi suci kembali lewat proses itu.

Hanya saja udara kota yang tercemar dengan asap industri kendaraan bermotor dan pembakaran lainnya memenuhi langit kita. Ketika tetes air hujan itu turun terlarut kembalilah semua kandungan polusi itu di angkasa.

Namun meski demikian, dilihat dari sisi syariah dan hukum, air hujan itu tetap suci dan mensucikan. Sebab polusi yang naik ke udara itu pada hakikatnya bukan termasuk barang yang najis. Meski bersifat racun dan berbahaya untuk kesehatan, namun selama bukan termasuk najis sesuai kaidah syariah tercampurnya air hujan dengan polusi udara tidaklah membuat air hujan itu berubah hukumnya sebagai air yang suci dan mensucikan.

Apalagi polusi udara itu masih terbatas pada wilayah tertentu saja, seperti perkotaan yang penuh dengan polusi udara. Di banyak tempat di muka bumi ini, masih banyak langit yang biru dan bersih, sehingga air hujan yang turun di wilayah itu masih sehat.

Tentang sucinya air hujan dan fungsinya untuk mensucikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

Ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki. (QS Al Anfal: 11)

Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS Al Furqan: 48)

2. Salju

Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir atau kristal salju, tetapi sesungguhnya salju adalah air juga.

Hukum salju tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci baik wudhu’, mandi janabah dan lainnya.

Tentu saja harus diperhatikan suhunya agar tidak menjadi sumber penyakit. Ada hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan tentang kedudukan salju kesuciannya dan juga fungsinya sebagai media mensucikan. Di dalam doa iftitah pada setiap shalat, salah satu versinya menyebutkan bahwa kita meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disucikan dari dosa dengan air, salju dan embun.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika ditanya bacaan apa yang diucapkannya antara takbir dan Al Fatihah beliau menjawab”Aku membaca, “Ya Allah Jauhkan aku dari kesalahn-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkanantara Timur dan Barat. Ya Allah sucikan aku dari kesalahankesalahanku sebagaimana pakaian dibersihkan dari kotoran. Ya Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Embun

Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di hamparan dedaunan pada pagi hari.

Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk mensucikan untuk bertahharah, baik untuk berwudhu, mandi janabah atau menghilangkan najis.

Dalilnya sama dengan dalil di atas yaitu hadits tentang doa iftitah riwayat Abu Hurairah radhiyallahuanhu.

4. Air Laut

Air laut adalah air yang suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu’, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).

Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.

Meski pun rasa air laut itu asin karena kandungan garamnya yang tinggi, namun hukumnya sama dengan air hujan, embun, atau pun salju, yaitu boleh dan bisa digunakan untuk berthaharah.

Sebelumnya, para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengetahui hukum air laut untuk berthaharah, sehingga ketika ada dari mereka yang berlayar di tengah laut dan bekal air yang mereka bawa hanya cukup untuk keperluan minum mereka berijtihad untuk berwudhu’ menggunakan air laut.

Sesampainya kembali ke daratan, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang hukum menggunakan air laut sebagai media untuk berwudhu’. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab bahwa air laut itu suci dan bahkan bangkainya pun suci juga.

Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anh bahwa ada seorang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam’Ya Rasulullah kami mengaruhi lautan dan hanya membawa sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu pastilah kami kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?’. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’(Laut) itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, An Nasai)[1]

Hadits ini sekaligus juga menjelaskan bahwa hewan laut juga halal dimakan dan kalau mati menjadi bangkai bangkainya tetap suci.

5. Air Zamzam

Air Zamzam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka’bah sebagai semua sumber mata air pertama di kota Mekkah sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Bolehnya air zamzam untuk digunakan bersuci atau berwudhu ada sebuah hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Dari Ali bin Abi thalib Radhiyallahu ‘Anh bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta seember penuh air zamzam. Beliau meminumnya dan juga menggunakannya untuk berwudhu’. (HR. Ahmad).

Selain boleh digunakan untuk bersuci disunnahkan buat kita untuk minum air zamzam lantaran air itu memiliki kemulian tersendiri di sisi Allah.

Namun para ulama sedikit berbeda pendapat tentang menggunakan air zamzam ini untuk membersihkan najis menjadi 3 pendapat:

Pendapat Pertama

Mazhab Al Hanafiyah mazhab Asy-Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa air zamzam boleh digunakan untuk mengangkat hadats yaitu berwudhu atau mandi janabah.

Namun kurang disukai (karahah) kalau digunakan untuk membersihkan najis. Hal itu mengingat kedudukan air zamzam yang sangat mulia sehingga mereka cenderung kurang menyukai bisa kita membersihakn najis dengan air zamzam.

Pendapat Kedua

Mazhab Al Malikiyah secara resmi tidak membedakan antara kebolehan air zamzam digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk membersihkan najis. Keduanya sah-sah saja tanpa ada karahah.

Dalam pandangan mereka air zamzam boleh digunakan untuk bersuci baik untuk wudhu mandi istinja’ ataupun menghilangkan najis dan kotoran pada badan pakaian dan benda-benda. Semua itu tidak mengurangi kehormatan air zamzam.

Pendapat Ketiga

Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa beliau berpendapat adalah termasuk karahah (kurang disukai) bila kita menggunakan air zamzam untuk bersuci baik untuk mengangkat hadats (wudhu atau mandi janabah) apalagi untuk membersihkan najis. Pendapat ini didukung dengan dalil atsar dari shahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu:

Aku tidak menghalalkannya buat orang yang mandi (janabah) di masjid namun air zamzam itu buat orang yang minum atau buat orang yang wudhu’

6. Air Sumur atau Mata Air

Air sumur mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air itu untuk wudhu mandi atau mensucikan diri pakaian dan barang dari najis.

Dalil tentang sucinya air sumur atau mata air adalah hadits tentang sumur Budha’ah yang terletak di kota Madinah.

Dari Abi Said Al Khudhri Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa seorang bertanya, “Ya Rasulullah Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budho’ah? Padahal sumur itu yang digunakan oleh wanita yang haidh dibuang ke dalamnya daging anjing dan benda yang busuk. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu’. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy, An- Nasai Ahmad dan Al Imam Asy-Syafi’i)[2]

7. Air Sungai

Sedangkan air sungai itu pada dasarnya suci karena dianggap sama karakternya dengan air sumur atau mata air. Sejak dahulu umat Islam terbiasa mandi wudhu’ atau membersihkan najis termasuk beristinja’ dengan air sungai.

Namun seiring dengan terjadinya perusakan lingkungan yang tidak terbentung lagi terutama di kota-kota besar air sungai itu tercemar berat dengan limbah beracun yang meski secara hukum barangkali tidak mengandung najis namun air yang tercemar dengan logam berat itu sangat membahayakan kesehatan.

Maka sebaiknya kita tidak menggunakan air itu karena memberikan madharat yang lebih besar. Selain itu seringkali air itu sangat tercemar berat dengan limbah ternak limbah WC atau bahkan orang-orang buang hajat di dalam sungai. Sehingga lama-kelamaan air sungai berubah warna bau dan rasanya. Maka bisa jadi air itu menjadi najis meski jumlahnya banyak.

Sebab meskipun jumlahnya banyak tetapi seiring dengan proses pencemaran yang terus menerus sehingga merubah rasa warna dan aroma yang membuat najis itu terasa dominan sekali dalam air sungai jelaslah air itu menjadi najis.

Maka tidak syah bila digunakan untuk wudhu’ mandi atau membersihkan najis. Namun hal itu bila benar-benar terasa rasa aroma dan warnanya berubah seperti bau najis. Namun umumnya hal itu tidak terjadi pada air laut sebab jumlah air laut jauh lebih banyak meskipun pencemaran air laut pun sudah lumayan parah dan terkadang menimbulkan bau busuk pada pantai-pantai yang jorok.

___________

[1] At Tirmidzy mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih

[2] At-Tirmidzy mengatakan hadits ini hasan



Referensi:

Fiqih dan Kehidupan oleh Ahmad Sarwat, Lc. MA.
Mukhtashar Fiqih Islami oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijri
Sumber: http://www.fimadani.com/macam-macam-air-mutlak-yang-digunakan-untuk-thaharah/
Unknown

Fatwa Ulama Apakah Orang Sakit Boleh Meninggalkan Sholat?

Fatwa Ulama: Apakah Orang Sakit Boleh Meninggalkan Shalat?
Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan Soal: Seseorang tidak shalat selama dua tahun setengah karena lumpuh yang dideritanya selama jangka waktu tersebut. Kemudian setelah itu ia dapat duduk dan melakukan sebagian gerakan yang mudah. Apa yang wajib untuknya ketika itu?

fatwa ulama apakah boleh orang sakit meninggalkan sholat

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan

Soal:

Seseorang tidak shalat selama dua tahun setengah karena lumpuh yang dideritanya selama jangka waktu tersebut. Kemudian setelah itu ia dapat duduk dan melakukan sebagian gerakan yang mudah sehingga dapat kembali melakukan rutinitas shalat, dan puasa sesuai dengan kemampuan. Akan tetapi ia menderita selama dua tahun setengah karena meninggalkan shalat dan puasa selama rentang waktu tersebut dan ia tidak mampu untuk mengqadha’nya. Oleh karenanya amalan apa dan apa yang wajib atasnya?

Jawab:

Seseorang yang sakit shalat sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan berdiri jika mampu atau duduk atau berbaring atau dengan isyarat lisan sementara kedua kakinya menghadap kiblat dengan memberi isyarat ruku’ dan sujud. Maka, meninggalkan shalat selama sakit adalah sebuah kesalahan bagi anda. Selama akal anda sehat dan masih bisa berpikir maka sesungguhnya anda wajib shalat sesuai dengan kedaan anda

{لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا‏}

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286).

Intinya, seseorang yang sakit boleh tidak meninggalkan shalat selama akalnya masih ada dan pikirannya sehat. Ia hendaknya shalat sesuai dengan kondisinya saat itu. Oleh karena itu, wajib atas anda untuk mengqadha shalat-shalat yang anda tinggalkan disertai taubat kepada Allah.

Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=18822

***

Penerjemah: Andi Ihsan

Artikel Muslim.or.id



Sumber: http://muslim.or.id/26905-fatwa-ulama-apakah-orang-sakit-boleh-meninggalkan-shalat.html
Unknown

Anjuran Hemat Menggunakan Air

Anjuran Untuk Hemat Menggunakan Air
Tahukah kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk hemat dan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan air?

anjuran hemat menggunakan air

Musim hujan telah tiba. Air berlimpah ruah di mana-mana. Dan sebagian di antara kita, mungkin menjadi boros ketika menggunakan air di musim hujan ini. Namun, tahukah kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk hemat dan tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan air?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari no. 198 dan Muslim no. 325).

Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa. [1]

Lihatlah contoh teladan dari panutan kita, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau berwudhu, beliau hanya menghabiskan satu mud air. Padahal wudhu adalah salah satu ibadah yang penting, di mana shalat tidaklah diterima tanpa berwudhu dalam kondisi berhadats (tidak suci dari najis). Jika dalam ibadah saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan untuk menghemat air, lalu bagaimana lagi jika menggunakan air di luar keperluan ibadah kepada Allah Ta’ala? Tentu lebih layak lagi untuk berhemat dan disesuaikan dengan kebutuhan kita, serta jangan berlebih-lebihan.

Penulis kitab Shifat Wudhu Nabi, Fahd bin Abdurrahman Ad-Dausri, mengatakan, ”Jika Engkau –saudaraku muslim- merenungkan hadits ini dengan baik, maka Engkau akan tercengang dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang di jaman kita ini ketika mereka membuka keran air untuk berwudhu sambil terkadang bercakap-cakap dengan teman di dekatnya sedangkan air terus mengalir (keran tidak ditutup). Betapa borosnya tindakan ini! Bertakwalah kepada Allah. Renungkanlah hadits ini dan jadikanlah hadits ini di depan penglihatanmu. Ikutilah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesederhanaan dan tidak berlebih-lebihan (menggunakan air), sehingga tampaklah ittiba’ (mengikuti petunjuk Nabi) dan keimanan seorang muslim yang sebenarnya. Termasuk sunnah (Nabi) adalah jika seorang muslim hendak berwudhu, dia mengambil wadah yang kira-kira bisa menampung satu mud air dalam rangka mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [2]

Lalu bagaimana jika kita mampu berwudhu menggunakan kurang dari satu mud air atau mandi menggunakan kurang dari satu sha’ air?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah mencukupi karena hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa satu mud atau satu sha’ air bukanlah batas minimal yang diharuskan. Hadits di atas hanyalah menceritakan kadar air yang telah mencukupi bagi wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan batas minimal yang diharuskan sehingga tidak boleh berwudhu atau mandi kurang dari kadar tersebut. Tujuannya adalah sebagai peringatan adanya keutamaan untuk bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Oleh karena itu, dianjurkan bagi yang mampu menyempurnakan wudhunya dengan kadar air yang sedikit untuk berhemat dalam menggunakan air dan tidak melebihi kadar tersebut. Karena sikap boros dan berlebih-lebihan dilarang dalam syariat. [3]

Wallahu a’lam.

***

Selesai disusun di malam hari, Masjid Nasuha ISR Rotterdam, 2 Rabiul Awwal 1436



Catatan kaki:

[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah 1/126 dan Shifat Wudhu Nabi, hal. 37.

[2] Shifat Wudhu Nabi, hal. 37.

[3] Syarh Shahih Bukhari li Ibnil Baththal, 1/302 (Maktabah Syamilah)



Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.Or.Id



Sumber: http://muslim.or.id/24100-anjuran-untuk-hemat-menggunakan-air.html